ThePost.id — Dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) menjadi salah satu babak penting dalam sejarah politik Indonesia.
Konsep yang memberikan militer peran ganda—sebagai alat pertahanan negara dan kekuatan sosial-politik—ini telah membentuk dinamika pemerintahan sejak era Orde Lama hingga Orde Baru.
Meski kini secara formal telah dihapus pascareformasi 1998, wacana revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) kembali memunculkan kekhawatiran akan hidupnya kembali dwifungsi dalam bentuk baru.
Lantas, bagaimana sesungguhnya akar sejarah dwifungsi ABRI? Apa tujuannya, dan bagaimana dampaknya terhadap demokrasi Indonesia?
Sejarah Dwifungsi ABRI di Indonesia
Gagasan dasar dwifungsi ABRI pertama kali dicetuskan oleh Jenderal Abdul Haris (AH) Nasution melalui konsep “jalan tengah” pada akhir 1950-an. Gagasan ini muncul dari konteks sejarah ketika militer merasa memiliki kontribusi besar dalam proses kemerdekaan dan stabilisasi negara pasca-revolusi.
Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, percaya bahwa militer tidak hanya bertugas mempertahankan negara dari ancaman luar, tetapi juga harus ikut serta membangun dan menstabilkan kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi.
Konsep ini kemudian diperkuat secara formal melalui Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 dan menjadi landasan pemikiran dalam pembangunan nasional.
Di bawah pemerintahan Presiden Sukarno, militer mulai menempati posisi-posisi strategis di pemerintahan sebagai bentuk partisipasi politik.
Dwifungsi ABRI Dilegalkan dan Diperluas di Era Orde Baru
Namun, dwifungsi benar-benar menemukan bentuk paling dominannya ketika Jenderal Soeharto naik ke tampuk kekuasaan pada tahun 1966.
Di bawah Orde Baru, militer tidak hanya menjadi alat keamanan negara, tetapi juga menjadi pilar utama kekuasaan politik.
Pada tahun 1982, UU No. 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pertahanan dan Keamanan Negara secara resmi mengukuhkan peran dwifungsi ABRI dalam struktur pemerintahan.
Saat itu, ABRI diposisikan sebagai kekuatan sosial-politik yang sah dan terstruktur.
Dampaknya, perwira aktif ABRI menduduki berbagai jabatan strategis, mulai dari bupati, wali kota, gubernur, anggota DPR/MPR, hingga menteri.
Bahkan, militer turut mengontrol organisasi politik seperti Golkar dan terlibat langsung dalam pengambilan keputusan negara.
Buku Pejuang dan Prajurit: Konsepsi dan Implementasi Dwifungsi ABRI (1984) mencatat bahwa peran ganda ABRI telah menjadi alat stabilisasi politik, sekaligus menjadi penyangga utama kekuasaan Soeharto selama lebih dari tiga dekade.
Dampak Dwifungsi ABRI: Redupnya Supremasi Sipil dan Demokrasi
Meski dwifungsi diklaim untuk menjaga stabilitas nasional, praktiknya justru menyebabkan pelemahan prinsip demokrasi dan supremasi sipil.
Keterlibatan militer dalam pemerintahan sipil membuat ruang politik bagi masyarakat sipil semakin sempit. Banyak kebijakan publik lebih dipengaruhi oleh pertimbangan militer ketimbang aspirasi rakyat.
Selain itu, dominasi militer sering kali disertai pendekatan represif terhadap oposisi politik dan kelompok kritis.
Beberapa peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi pada era Orde Baru tak bisa dilepaskan dari kuatnya posisi ABRI dalam struktur kekuasaan negara.
Reformasi 1998, Akhir dari Dwifungsi ABRI
Setelah gelombang Reformasi menggulingkan Soeharto pada Mei 1998, dwifungsi ABRI menjadi salah satu tuntutan utama gerakan rakyat. Di bawah tekanan publik dan politik, dwifungsi mulai dipangkas.
Pemisahan antara TNI dan Polri dilakukan pada tahun 1999, disusul pembatasan peran militer dalam politik praktis. Pada tahun 2004, UU No. 34 tentang TNI secara tegas menyatakan bahwa prajurit aktif tidak boleh menduduki jabatan di luar bidang pertahanan dan keamanan tanpa mengundurkan diri dari dinas aktif.
Langkah ini dipandang sebagai kemenangan bagi demokratisasi Indonesia, sekaligus memperkuat supremasi sipil dalam sistem ketatanegaraan.
Wacana Kembalinya Dwifungsi ABRI Lewat Revisi UU TNI
Namun, hampir tiga dekade setelah Reformasi, kekhawatiran akan kembalinya dwifungsi mencuat kembali. Revisi UU TNI yang saat ini sedang dibahas di DPR berpotensi membuka kembali ruang keterlibatan militer dalam jabatan sipil.
Dalam draf revisi, jumlah kementerian dan lembaga negara yang bisa diisi oleh prajurit aktif bertambah dari 10 menjadi 16, di antaranya termasuk Kementerian Kelautan dan Perikanan, BNPB, BNPT, Bakamla, Kejaksaan Agung, hingga BNPP.
Menurut Anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin, penambahan lembaga ini didasarkan pada kebutuhan keamanan di wilayah tertentu. Namun, banyak kalangan sipil dan pemerhati demokrasi melihat perluasan ini sebagai bentuk baru dari dwifungsi yang bisa mengikis kembali supremasi sipil.
Baca Juga: Panglima TNI Terbitkan Telegram Perintahkan Pengamanan Kejaksaan di Seluruh Indonesia
Sejarah dwifungsi ABRI adalah cermin dari perjalanan panjang relasi antara militer dan kekuasaan di Indonesia. Dari niat mulia stabilisasi negara, konsep ini berkembang menjadi alat dominasi politik yang mengerdilkan demokrasi.
Kini, di tengah wacana revisi UU TNI, sejarah tersebut kembali relevan untuk diingat—bukan sebagai nostalgia kekuasaan, melainkan sebagai peringatan akan pentingnya menjaga batas antara militer dan ranah sipil dalam negara demokratis.
Tinggalkan komentar