ThePost.id – Kebijakan Tentara Nasional Indonesia (TNI) mengerahkan prajurit untuk menjaga kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan Kejaksaan Negeri (Kejari) di seluruh Indonesia menuai sorotan tajam. Langkah tersebut dilakukan berdasarkan Surat Telegram Nomor: ST/1192/2025 tertanggal 6 Mei 2025 yang ditandatangani Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto.
Pengerahan personel militer itu disebut sebagai bentuk implementasi kerja sama antara TNI dan Kejaksaan Agung yang tertuang dalam Nota Kesepahaman (MoU) Nomor NK/6/IV/2023/TNI tertanggal 6 April 2023.
Skema Penugasan dan Tujuan Pengamanan
Berdasarkan surat telegram tersebut, satu Satuan Setingkat Peleton (SST) atau sekitar 30 prajurit TNI dikerahkan ke setiap kantor Kejati, sementara satu regu atau sekitar 10 personel ditugaskan di masing-masing Kejari. Penempatan ini bersifat rotasi bulanan dan berlangsung hingga waktu yang belum ditentukan.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, membenarkan adanya pengamanan tersebut. Ia menyebutkan bahwa kerja sama ini bertujuan mendukung pelaksanaan tugas-tugas kejaksaan di tingkat pusat hingga daerah.
Kepala Dinas Penerangan TNI AD (Kadispenad), Brigjen TNI Wahyu Yudhayana, menegaskan bahwa pengamanan oleh prajurit TNI bukanlah respons atas situasi khusus. “Ini bagian dari kerja sama rutin dan preventif, sebagaimana yang sudah berjalan sebelumnya,” kata Wahyu dalam keterangan tertulis, Minggu (11/5/2025).
Hal senada disampaikan Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Mayjen Kristomei Sianturi. Ia menyebut bahwa pengerahan pasukan merupakan bagian dari sinergi kelembagaan yang telah diatur dalam MoU resmi. “Semua dukungan dilakukan atas permintaan resmi, sesuai kebutuhan, dan tetap berdasarkan hukum,” ujar Kristomei, Senin (12/5/2025).
Adapun ruang lingkup kerja sama antara TNI dan Kejaksaan meliputi:
- Pendidikan dan pelatihan,
- Pertukaran informasi penegakan hukum,
- Penugasan prajurit TNI di lingkungan Kejaksaan,
- Penugasan jaksa sebagai pengawas di Oditurat Jenderal TNI,
- Bantuan personel TNI untuk mendukung tugas kejaksaan,
- Pendampingan hukum dalam perkara perdata dan tata usaha negara,
- Pemanfaatan sarana dan prasarana secara bersama,
- Koordinasi penanganan perkara koneksitas.
Kristomei menekankan bahwa pelibatan TNI dalam pengamanan kejaksaan juga terkait dengan keberadaan Jaksa Agung Muda Pidana Militer (Jampidmil) yang kini menjadi bagian dari struktur Kejaksaan RI.
Baca Juga: Panglima TNI Terbitkan Telegram Perintahkan Pengamanan Kejaksaan di Seluruh Indonesia
Kritik dari Masyarakat Sipil
Meski dijelaskan sebagai kerja sama resmi, kebijakan ini memantik kritik dari sejumlah kalangan sipil. Koalisi masyarakat sipil menyebut langkah tersebut sebagai bentuk militerisasi lembaga penegak hukum sipil yang berpotensi melanggar konstitusi dan prinsip demokrasi.
Sejumlah pakar hukum tata negara juga menyoroti minimnya transparansi dan akuntabilitas dalam implementasi MoU. Mereka menilai bahwa pengerahan prajurit ke institusi sipil dapat membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan serta mengikis kontrol publik.
“Ini bukan sekadar bantuan teknis, ini berpotensi menjadi preseden buruk bagi demokrasi. TNI seharusnya tidak menjalankan fungsi keamanan dalam negeri kecuali dalam kondisi darurat atau atas perintah Presiden,” ujar salah satu aktivis hukum yang enggan disebut namanya.
Baca Juga: Panglima TNI Kerahkan Personel Amankan Kejaksaan, Dinilai Langgar Prinsip Supremasi Sipil
Menanggapi kritik tersebut, TNI memastikan bahwa prajurit akan bertugas secara profesional dan proporsional, dengan tetap menjunjung tinggi aturan hukum serta prinsip netralitas. TNI juga menegaskan bahwa jumlah personel yang disebut dalam surat telegram hanya bersifat nominatif dan fleksibel, tergantung kebutuhan di lapangan.
“TNI selalu bekerja sesuai konstitusi. Tidak ada agenda tersembunyi di balik kebijakan ini,” pungkas Kristomei.
Tinggalkan komentar