ThePost.id — Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto memerintahkan pengerahan personel TNI untuk mengamankan Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan Kejaksaan Negeri (Kejari) di seluruh Indonesia. Perintah tersebut tertuang dalam Surat Telegram Nomor: ST/1192/2025 dan TR/442/2025 tertanggal 5 dan 6 Mei 2025.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Harli Siregar membenarkan adanya bantuan pengamanan tersebut. Ia menyebutkan, TNI dan Kejaksaan telah bekerja sama dalam mendukung tugas-tugas institusi kejaksaan, termasuk di daerah.
“Iya benar, ada pengamanan yang dilakukan oleh TNI terhadap Kejaksaan hingga ke daerah. Di daerah sedang berproses,” kata Harli saat dikonfirmasi, Minggu (11/5/2025).
Dalam telegram tersebut, disebutkan bahwa satu Satuan Setingkat Pleton (SST) atau sekitar 30 personel TNI ditugaskan untuk mengamankan setiap Kejati. Sementara itu, satu regu atau 10 personel dikerahkan untuk mengamankan setiap Kejari.
“Pengamanan itu bentuk kerja sama antara TNI dengan Kejaksaan,” lanjut Harli.
Baca Juga: Panglima TNI Terbitkan Telegram Perintahkan Pengamanan Kejaksaan di Seluruh Indonesia
Tuai Kritik dari Koalisi Masyarakat Sipil
Langkah Panglima TNI ini menuai kritik dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan. Mereka menilai pengerahan prajurit TNI ke lembaga kejaksaan berpotensi melanggar prinsip supremasi sipil dan menandai kebangkitan kembali peran ganda militer (dwifungsi TNI) dalam ranah sipil.
Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyatakan bahwa tugas pokok TNI adalah menjaga pertahanan negara, bukan terlibat dalam pengamanan institusi penegakan hukum sipil seperti kejaksaan.
“Pengerahan seperti ini semakin menguatkan intervensi militer di ranah sipil, khususnya dalam penegakan hukum. Tugas dan fungsi TNI seharusnya fokus pada aspek pertahanan,” ujar Usman dalam keterangan tertulis, Minggu (11/5/2025).
Koalisi Masyarakat Sipil mempertanyakan dasar hukum pengerahan prajurit TNI dalam konteks Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Mereka menilai bahwa nota kesepahaman (MoU) antara TNI dan Kejaksaan Agung tidak cukup kuat secara yuridis untuk menjadi landasan pengerahan pasukan.
“Kerangka kerja sama bilateral TNI-Kejaksaan bertentangan dengan UU TNI. Tujuan perintah dalam telegram itu adalah pengamanan Kejati dan Kejari secara umum, padahal seharusnya hanya terbatas pada Jampidmil sebagaimana revisi UU TNI,” ujar Usman.
Usman juga menegaskan bahwa tidak terdapat ancaman nyata yang dapat membenarkan pengerahan pasukan militer ke kejaksaan. Ia menyarankan agar pengamanan internal kejaksaan cukup dilakukan oleh satuan pengamanan dalam (satpam) tanpa perlu kehadiran TNI.
“Pengamanan institusi sipil seperti kejaksaan tidak memerlukan pengerahan TNI. Tidak ada urgensi atau ancaman yang bisa menjustifikasi langkah ini,” ucapnya.
Desakan kepada Panglima dan DPR RI
Koalisi mendesak Panglima TNI agar segera mencabut surat perintah tersebut dan mengembalikan posisi TNI pada peran pertahanan sebagaimana diatur dalam konstitusi dan undang-undang.
Lebih lanjut, mereka juga meminta DPR RI, khususnya Komisi I, Komisi III, dan Komisi XIII, untuk mengambil sikap tegas dan mendesak Presiden serta Menteri Pertahanan agar membatalkan perintah tersebut demi menjaga supremasi sipil dalam sistem demokrasi Indonesia.
“Kami mendorong DPR RI untuk menjamin tidak adanya praktik dwifungsi TNI dan memastikan TNI kembali pada fungsi utamanya dalam menjaga pertahanan negara,” tegas Usman.
Tinggalkan komentar