ThePost.id – Persiapan menjelang konklaf untuk memilih Paus baru semakin intensif setelah Vatikan memasang cerobong asap di atap Kapel Sistina pada Jumat (2/5/2025). Instalasi ini menjadi simbol penting menjelang proses pemilihan pengganti Paus Fransiskus yang wafat pada 21 April lalu dalam usia 88 tahun.
Cerobong tersebut akan menjadi satu-satunya penghubung visual antara dunia luar dengan proses pemilihan tertutup yang akan dimulai pada Rabu, 7 Mei mendatang.
Selama konklaf berlangsung, sebanyak 135 kardinal pemilih—yang berusia di bawah 80 tahun—akan mengikuti proses pemungutan suara secara rahasia untuk menentukan pemimpin baru bagi 1,4 miliar umat Katolik di seluruh dunia.
Dalam setiap tahap pemungutan suara, para kardinal akan membakar surat suara mereka dalam tungku khusus di dalam Kapel Sistina. Asap hitam yang keluar dari cerobong menandakan belum tercapainya kesepakatan. Sebaliknya, asap putih akan menandai terpilihnya Paus baru.
Asap yang muncul dihasilkan melalui kombinasi bahan kimia. Untuk menghasilkan asap hitam, surat suara dicampur dengan kalium perklorat, antrasena, dan belerang. Sementara untuk asap putih, digunakan kalium klorat, laktosa, dan resin kloroform.
Konklaf akan dimulai dengan satu putaran pemungutan suara pada malam pertama, disusul dua putaran di pagi hari dan dua putaran lagi di sore hari pada hari-hari berikutnya hingga dua pertiga suara tercapai.
Sejarah mencatat, sejak awal abad ke-20, semua konklaf berakhir dalam waktu kurang dari empat hari. Paus Fransiskus sendiri terpilih pada hari kedua konklaf tahun 2013.
Evaluasi Kepemimpinan Paus Fransiskus
Sementara itu, para kardinal—termasuk yang berusia di atas 80 tahun dan tidak berhak memilih—telah menggelar serangkaian diskusi prakonklaf dalam beberapa hari terakhir.
Mereka membahas tantangan Gereja Katolik ke depan, termasuk masalah keuangan Vatikan dan evaluasi terhadap masa kepemimpinan Paus Fransiskus.
Paus Fransiskus dikenal dengan pendekatannya yang inklusif terhadap kaum marginal, namun juga menuai kritik dari kalangan konservatif yang menilai kepemimpinannya menimbulkan kebingungan dalam isu moral dan hukum Gereja.
Reformasi besar yang ia lakukan pada 2022—termasuk membuka peluang bagi kaum awam dan perempuan untuk memimpin kantor-kantor penting di Vatikan—juga menjadi bahan perdebatan.
Salah satu suara kritis datang dari Kardinal Beniamino Stella, mantan kepala urusan klerus Vatikan yang kini berusia 83 tahun.
Dalam sesi prakonklaf, ia dikabarkan menentang pemisahan antara kekuasaan tata kelola Gereja dan imamat, kebijakan yang menjadi inti dari reformasi Fransiskus.
Namun demikian, sebagian kardinal menilai pendekatan inklusif tersebut sebagai bentuk pembaruan yang dibutuhkan Gereja saat ini.
Kardinal Fernando Chomali dari Chili mengatakan bahwa keberagaman pandangan dalam diskusi prakonklaf justru memperkaya wawasan seluruh peserta.
“Bagi saya yang datang dari Chili, negara yang jauh, mendengar pengalaman berbeda sangat memperkaya, tidak hanya bagi saya, tetapi bagi seluruh Gereja,” ujar Chomali sebagaimana dikutip dari APNews.com, Minggu (04/05/2025).
Konklaf mendatang dipandang sebagai momen penting dalam menentukan arah Gereja Katolik global, apakah akan melanjutkan jejak reformasi Paus Fransiskus atau kembali pada pendekatan yang lebih konservatif.
Tinggalkan komentar